Al-Ihkam Fi Ushul Al-Ahkam

A. Tentang Kitab

Judul Kitab: Al-Ihkam Fi Ushul Al-Ahkam
Penulis: Saifuddin Al-Amidi
Jilid / Volume: 2 / 4
Penerbit: Dar Kutub Ilmiyah (Libanon – Beirut)

B. Biografi Singkat

Ia adalah Abu al-Hasan Ali Bin Abu Ali Bin Muhammad Bin Salim al-Taghlabi. Dikenal dengan nama Saifuddin al-Amidi. Al-Amidi adalah nisbah kepada sebuah desa sebelah tenggara Turki.
Dilahirkan di Amidi tahun 551 H / 1156 M. dan wafat di Damaskus hari selasa ketiga bulan safar tahun 631 H / 1233 M.

Dijelaskan pada awalnya ia bermazhab Hambali. Dan menekuni Mazhab Hambali dalam bimbingan Abu al-Fath Nasr Bin Fityan Bin al-Muna al-Hambali di Baghdad. Disana juga ia belajar ilmu qiraat. Dan mendengar Hadis dari Abu al-Fath Bin Syatil. kemudian berpindah mazhab ke Syafi’i serta berguru kepada Syeikh Abu al Qasim Bin Fadhlan.

Berselang beberapa tahun ia juga ke Mesir dan mendalami ilmu-ilmu rasional seperti logika dan filsafat. Beliau juga mengajar disebuah madrasah yang dekat dengan makam Imam Syafi’i. Dan tinggal di Mesir selama beberapa tahun. Selama itu pula banyak khalayak yang beristifadah kepadanya.

Muridnya yang sangat terkenal adalah Syekh Izzudin Abdus Salam yang digelari Shulthon al-Ulama’. beliau berkata tentang gurunya: "Tidak saya pelajari kaidah-kaidah pembahasan kecuali dari al-Amidi." Atau di kesempatan lain, "Tidak saya dengar pengajaran yang paling bagus mengenai kitab al-Wasith-nya Imam Al-Ghazali seperti yang disampaikan oleh guru saya (al-Amidi) seakan-akan ia menyampaikannya dengan nonverbal"(karena ia sudah menghapalkannya). Juga sanjungan beliau “Seandainya ada seorang atheis yang ragu akan islam, tidak ada yang bisa menjelaskan kepadanya secara rasional selain Al-Amidi”.

Namun kebesaran namanya itu telah membuat banyak para Fuqaha di Mesir merasa iri. Akibatnya muncul tuduhan-tuduhan miring yang sengaja diwacanakan untuk memojokkan dan mengkerdilkannya. Ia dituduh zindiq karena akidahnya dinilai menyimpang.

Akhirnya beliau pindah ke damaskus sampai wafatnya pada tahun 631 H. dimakamkan dilereng bukit qasiun, damaskus. Kitab ini sendiri ditulis di Damaskus.

C. Tentang Kitab

Kitab ini sendiri ditulis di Damaskus sebagai bentuk hadiah terhadap penguasa Damaskus Syaraf Addin Bin Ayyub.

Menurut Ibnu Khaldun kitab ini salah satu referensi utama dari 4 kitab Ushul Fiqh. Tiga lainnya seperti Al-Burhan karya Imam al-Haramain, Al-Mustashfa karya l-Ghazali, dan Al-Mu’tamad karya Hasan Al-Bashri.

Tulisan-tulisan beliau dalam kitab ini banyak dipengaruhi oleh Al-Ghazali melalui kitab Al-Wasith.

Metode yang digunakan dalam penyusunan karyanya adalah metode penalaran, pengamatan mendalam, dan perpaduan antara penelusuran bentuk kata dan makna. Dengan metode ini, ia kemudian melakukan kategorisasi dan klasifikasi beberapa persoalan. Metode serupa juga diaplikasikan dalam mengajar murid-muridnya di Damaskus, sehingga ia dikenal sebagai guru yang pengajarannya mudah dicerna dan dipahami. Jadi, penalaran logis yang didasarkan pada hasil pengamatan, dan ditunjang dengan analisis kebahasaan dan semantik yang memadai merupakan ciri khas karya dan metode pengajarannya.

Esensi pemikiran kebahasaaraban Al-Amidi dinyatakan dalam pengantar bukunya bahwa ilmu-ilmu kebahasaaraban merupakan sendi dan kunci utama untuk memahami dan mengambil kesimpulan hukum dari teks-teks al-Qur‘an dan as-Sunnah. Karena itu, ada tiga perangkat penelitian Ushûl Fiqh yang harus dikuasai oleh ahli Ushûl, yaitu: ‘Ilmu Kalam (teologi), Ilmu Alat (ilmu bahasa Arab) dengan berbagai cabangnya, dan ilmu-ilmu syariah. Untuk dapat menentukan makna lafazh secara tepat, kaidah-kaidah kebahasaaraban, seperti: nahwu, sharf, balâqhah, perlu dipahami.

D. Pokok-pokok Pembahasan

Pembahasan pertama: Tentang mengenai konsep Ushul Fiqh dan landasan dasarnya. Menurutnya ushul fiqh adalah dalil-dalil (al-adillah) atau petunjuk fiqh sedang landasan dasarnya ialah kalam, bhs arab, dan hukum-hukum syar’i. (jil.1 H. 10 dan 11).

Bagi Saifuddin al-Amidi, prinsip-prinsip kalam tidak bisa dilepaskan dari ushul al-fiqh. Sebab, dalam pandangannya jika ushul al-fiqh adalah dalil-dalil fiqh, maka adanya kalam dalam hal ini dibutuhkan untuk mengetahui dalil dan pembagiannya: yaitu dalil yang berfaidah ‘ilm (pegetahuan yang menyakinkan) dan berfaidah zhan (dugaan kuat).

Selanjutnya kata Saifuddin al-Amidi, semua itu tidak mungkin dapat dicapai dengan baik kecuali dengan penalaran (nazhar). Tetapi para ahli ushul menggunakan istilah dalil untuk sesuatu yang bisa menghasilkan ‘ilm, sedang amarah (indikasi) untuk sesuatu yang hanya bisa menghasilkan zhan.

Para ahli ushul membagi dalil menjadi tiga, yaitu ‘aqli, sam’i, dan di ‘aqali-sam’i. Aqli contohnya, tentang kebaruan alam. Logikanya adalah alam itu diciptakan, dan setiap yang diciptakan adalah baru, karenanya alam itu baru. Sam’i, misalnya ketetapan-ketepatan teks-teks al-Qur`an, hadits, ijma’ dan qiyas. ‘Aqli-sam’i, misalnya, minuman keras itu memabukkan, dan setiap yang memabukkan itu haram karena Rasulullah bersabda, “Setiap yang memabukkan adalah haram”. [Jilid, I, H. 14]

Pembahasan kedua:

mengenai dalil syar’i, pembagiannya, dan hukum-hukum yang terkait dengannya. Sebelum memasuki pembahasan tentang hal itu, Saifuddin al-Amidi terlebih dulu memberikan pengantar mengenai dalil syar’i. Menurutnya, dalil syar’i terbagi menjadi dua kategori. Pertama, dalil yang shahih dengan sendirinya dan harus diamalkan. Kedua, dalil yang diduga kuat shahih. Kategori pertama ada lima macam, yaitu Qur`an, sunnah, ijma’, qiyas, dan istidlal. Sedang ketegori kedua ada empat macam, yaitu syar’u man qablana, madzhab ash-shahabi, istihsan, dan al-mashlahah al-mursalah. [Jilid, I, H. 135].

Menarik untuk dicermati, bahwa Saifuddin al-Amidi memasukkan istidlal sebagai dalil syar’i. Lantas apa yang dimaksudkkan dengannya? Istidlal ialah dalil yang bukan berupa teks, ijma’, juga bukan qiyas. Istidlal menurut Saifuddin al-Amidi ada beberapa macama, di antaranya adalah pernyataan: “jika ditemukan sebab (sabab) maka ditetapkanlah hukum dan jika ditemukan penghalang (mani’) dan tidak terpenuhinya syarat maka tidak ada hukum”.

Pernyataan ini merupakan dalil dipandang dari sisi bahwa dalil adalah sesuatu yang mengharuskan dari ketetapannya penetapan apa yang dikehendakinya baik secara pasti atau jelas. [Jilid, II, H, 361].

Pembahasan ketiga:

Mengenai ijtihad, mujtahid dengan segala syarat-syaratnya, mufti (pemberi fatwa) dan mustafti (peminta fatwa).

Pembahasan keempat: Atau yang terakhir mengenai tarjih.

Demikianlah gambaran secara global isi kitab al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam. Dan kitab ini memang harus dibaca dan dikaji dengan cermat karena di dalamnya kita akan menemukan penjelasan rasional dan memukau tentang ushul al-fiqh dari Saifuddin al-Amidi, saja lah satu tokoh penting dalam kajian ushul al-fiqh. Rasanya kita tak akan pernah kecewa membaca kitab ini.

Dikutip dari grup sobat PMIK.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mamnu' min Ash-shorf

At-thibaq dan Al-muqabalah